ciri-ciri orang yang punya pesugihan dan Jenis-Jenis Tumbal Susi serta Yani tewas dengan satu tanda merah di telapak tangannya. Saat ini tinggal Fandi serta ibunya yang tersisa. Siapa yang juga akan jadikan tumbal…. Fandi terlihat pucat hadapi hari yang menegangkan. Ia senantiasa tertekan bila waktu itu tiba. Resah karna ia ketahui kehadiran keluarganya yang makan minum dari hasil pemujaan. Ayahnya memuja setan dengan menghadirkan nyawa untuk setumpuk harta. Ayahnya sudah ambil jalan sesat, membuat batinnya senantiasa tersiksa. Saat ini hari keinginan tumbal itu sudah dekat, itulah yang membuat Fandi resah.
Keresahan Fandi benar-benar sangat beralasan. Telah banyak korban manusia yang sudah jadikan tumbal oleh ayahnya. Termasuk juga ke-2 adik perempuannya yang masih tetap berumur belasan th.. Fandi juga sangat takut dianya juga akan jadikan tumbal oleh ayahnya. Sesaat dirumah itu, saat ini cuma tinggal ibunya serta dia yang tersisa. Mereka cuma menanti saat untuk jadi tumbal ayahnya. Celakanya, Fandi tidak mungkin saja lari dari fakta itu.
Ditengah lamunan Fandi, muka Susi serta Yani adiknya melintas dalam ingatan. Muka yang senantiasa menggoda dianya apabila tengah bercanda. Betul-betul menyiksa, bayangan itu tidak ingin pergi dari pelupuk matanya. Mereka selalu membayangi selama seharian, seperti mengajak Fandi untuk turut dengan mereka. Atau menyuruh Fandi untuk hentikan semuanya penyengsaraan ini.
Masih tetap terbayang dalam ingatan Fandi bagaimana ke-2 adiknya itu wafat. Namun cuma tanda merah yang berupa seperti bola di ke-2 telapak tangan dan bercak-bercak merah di kulit badan mereka jadi bukti kematian Susi serta Yani. Tetapi mengapa ke-2 orang tuanya tidak terasa heran atas kepergian ke-2 adiknya yang cuma berselang sekian hari itu. Tuhan, apa sesungguhnya yang tengah menerpa keluarga kami.
Lamunan Fandi pagi itu berhenti oleh derap kaki yang mendekatinya. Fandi segera melihat serta nyatanya langkah kaki itu punya ibunya. Dengan membawa secangkir teh, Fitri mendekati Fandi yang menyambutnya dengan senyuman. Perlahan-lahan, Fitri, ibunya, ambil kursi serta duduk bertemu dengan Fandi.
“Kenapa pagi-pagi begini kamu melamun? Tidak kuliah? ” Tegur Fitri. “Atau kau berniat pergi sama sopir? Ayahmu barusan pergi? ” Sambungnya sekali lagi.
Tegur sapa Fitri yang halus serta lembut, membuat Fandi tergagap. Namun ia berupaya sembunyikannya. Fandi tidak menjawab semuanya pertanyaan ibunya, ia jadi balik ajukan pertanyaan.
“Bu, apakah perkebunan kita tidak alami perubahan? Kita telah lama tidak menjenguknya. Apabila ibu ingin, Fandi menginginkan mengajak ibu ke sana. Sekalian ada suatu hal hal yang menginginkan Fandi tanyakanlah, ” kata Fandi mengajak ibunya.
Fandi membulatkan tekad mengajak ibunya ke perkebunan dengan keinginan bisa ketahui apakah ibunya betul-betul belum juga ketahui bila ayahnya seseorang pemuja setan. Tanpa ada disangka, ibunya senang sekali dengan ajakan Fandi.
Fitri sesungguhnya sedikit kuatir karna Fandi tidak umumnya mengajak ke perkebunan. Fandi seringkali mengajak ibunya berbelanja ke toko untuk mencari suatu hal. Namun pada akhirnya Fitri mengiyakan ajakan anak sulungnya itu. Ia masuk kedalam serta keluarkan mobil dari garasi.
Selang beberapa saat berangkatlah mereka ke perkebunan. Perjalanan yang menelan saat nyaris satu jam membuat jantung Fandi berdebar-debar. Ia memikirkan muka ibunya kelak apabila ia bertanya mengenai kehadiran ayahnya. Reaksi seperti apa yang juga akan ditampakkan oleh ibunya.
Tiba di perkebunan, Fandi menggandeng tangan ibunya sembari mencari tempat untuk bernaung. Pada akhirnya mereka berkunjung di satu gubuk reyot untuk mengobrol. Perlahan Fandi memegang jemari ibunya serta coba membulatkan tekad untuk ajukan pertanyaan.
“Sudah berapakah lama perkebunan ini dipunyai oleh bapak Bu? ” Bertanya Fandi. “Pada waktu bapak beli tanah ini, Fandi tidak ketahuinya. Walau sebenarnya upah bapak ‘kan hanya pas-pasan. Mustahil bapak mempunyai uang sejumlah itu. Apakah mungkin saja upah seseorang pegawai Asuransi dapat beli perkebunan ini. Belum juga bapak sudah beli kendaraan serta semuanya barang istimewa yang sekarang ini kita punyai? ” Bertanya Fandi.
Fitri terperanjat mendengar pertanyaan yang disampaikan Fandi. Ia cuma memandang ke-2 mata Fandi dengan tajam. Selang beberapa saat ia berdesah, kekhawatirannya sampai kini dapat dibuktikan. Pertanyaan berikut yang senantiasa membuat dianya resah selama malam.
“Sebenarnya ibu sudah lama menaruh rahasia ini, serta baru kesempatan ini ibu membukanya. Sangat bagus kamu mengajak ibu ke sini. Peluang seperti berikut yang ibu bebrapa tunggulah. Saat ini kamu telah dewasa serta dapat berfikir, mana yang baik mana yang jelek. Kamu bisa membedakannya, ” jawab Fitri yang terasa suka anaknya sudah ketahuinya.
Fitri bicara sembari menahan perasaannya yang tertekan. Begitu dianya sampai kini menaruh rahasia suaminya didalam batin. Tiga th. tidaklah saat yang pendek untuk menaruh satu rahasia besar yang sudah dilewati oleh keluarganya.
Fandi makin tegang lihat muka ibunya yang memandang dengan tatapan kosong. Pada akhirnya ia menepuk bahu ibunya sembari berdehem.
“Bu….! Ibu mengapa? Apakah pertanyaan Fandi menyinggung perasaan ibu? Maafkan Fandi bu. Fandi sudah lancang, semestinya Fandi tidak bisa demikian. ”
“Tidak Fandi……! ” Celetuk ibunya. “Ibu cuma sangsi untuk menyebutkan suatu hal kepadamu, ” lanjutnya.
Secara cepat Fandi menyela perkataan ibunya sembari mencium tangannya. “Cepat bu, katakanlah! Fandi telah lama sekali menanti jawaban ini. Rasa-rasanya Fandi telah tidak sabar mendengarnya. Problem ayahkan bu? Saat ini begini saja, daripada ibu susah untuk membukanya, biarkanlah Fandi yang mewakili perasaan ibu.
Semoga ibu bisa terima apa yang juga akan Fandi katakan. Sebab Fandi sudah tahu apa yang sudah menerpa keluarga kita. Tidakkah bapak itu seseorang pemuja bu? Susi serta Yani sudah jadikan tumbal oleh bapak. Saat ini giliran Fandi serta ibu yang sekarang ini tengah diincar bapak.
Ketakutan berikut yang membuat ibu seringkali sakit. Sesungguhnya Fandipun seperti ibu. Namun apakah kita juga akan tinggal diam bu? Apakah kita tidak secepat-cepatnya minta pertolongan. Biarkanlah kita pergi diam. -diam pada saat masih tetap ada peluang serta belum juga terlambat, ” terang Fandi panjang lebar.
Begitu terkejutnya Fitri mendengar ungkapan Fandi. Ia tidak menganggap anak sulungnya sudah mengetahui ayahnya seseorang pemuja. Fitri selekasnya memeluk Fandi hingga bercucuran air mata. Fitri menumpahkan semuanya jeritan batin yang sampai kini menekan dadanya.
Disamping itu Fandi tampak begitu lega karna ibunya telah terima semuanya kalimat yang disampaikannya. Kehadiran ayahnya jadi seseorang pemuja setan, sudah tersingkap. Dengan bersimbah air mata, Fitri melepas pelukannya. Perlahan-lahan ia menyeka ke-2 matanya lantas kembali memandang muka Fandi dengan sayu.
“Semua yang kau katakan yaitu benar Fandi. Problem berikut yang senantiasa mengganggu fikiran ibu. Saranmu juga akan ibu turuti, daripada kau serta ibu jadikan korban oleh ayahmu! ” Jawab Fitri.
“Mari kita pulang Fandi. Takut ayahmu pulang lebih awal dari umumnya, ” ajak Fitri pada anaknya.
Fandi mengangguk sembari bergegas melangkahkan kakinya menuju mobil. Sesaat Fitri mengikutinya dari belakang. Tanpa ada banyak bicara, Fandi segera menstater mobil serta selekasnya meluncur pulang.
Hingga dirumah, Fitri menerobos masuk kedalam tempat tinggal serta segera bertukar baju. Kemudian ia selekasnya beristirahat untuk meninggalkan jejak kalau dianya pulang dari melancong. Sedang Fandi duduk di kursi tamu sembari membaca koran. Dalam hatinya berkecamuk gagasan yang sudah disetujui dengan ibunya.
Selang beberapa saat Sasmito bapak Fandi tiba. Mendengar nada suaminya, Fitri pura-pura tidur. Disamping itu Fandi terasa bersukur karna ayahnya tidak ketahui kalau ibu serta dia pulang dari perkebunan.
Malam terlihat cerah, purnama bercahaya jelas. Namun Fandi dicekam ketakutan melihat purnama itu. Hatinya demikian gelisah. Siapakah yang juga akan jadikan tumbal oleh ayahnya pada Purnama ini? Keringat Fandi mengucur deras membasahi baju yang ia gunakan. Ia beranjak dari ranjangnya, Fandi mencemaskan kondisi ibunya. Perasaannya gelisah seperti juga akan berlangsung suatu hal pada ibunya. Fandi bergegas mendatangi kamar tidur ibunya serta segera mengetuk pintu kamar.
“Bu, bu……! Ini Fandi bu! Tolong bukakan pintunya bu. Fandi ingin bicara. Apakah ibu tidak sholat Isya’ dahulu? ”
Lama Fandi menanti, namun tidak satupun pertanyaan dijawab. Pada akhirnya ia mengintip lewat lubang kunci. Mendadak Fandi berteriak nyaring menyebut ayahnya.
“Ayah…..! Ayah…..! Tolong ibu bapak! ” Teriak Fandi.
Sasmito hampiri Fandi sembari ajukan pertanyaan, “Ada apa Fandi? Mengapa dengan ibumu? ”
“Lihat bapak! Pintu kamar ini terkunci dari dalam. Waktu Fandi menyebut-manggil ibu, ia tidak menyahut. Kelihatannya ibu tengah sakit bapak. ”
Sasmito terlihat cemas. Ia selekasnya mendobrak pintu itu dengan Fandi lantas lari masuk kedalam kamar. Fandi dengan ayahnya segera hampiri ranjang lihat Fitri tergolek lemah di atasnya. Serta, semuanya teriakan tidak satupun didengar Fitri.
“Fitri, bangun Fitri! Ada apa denganmu Fitri! ” Sasmito serta Fandi menangis sembari menjerit-jerit.
“Fitri janganlah tinggalkan saya Fitri. Saya tidak mampu hidup tanpa ada kau disisiku! ” Sasmito selalu berteriak sembari memeluk badan istrinya.
“Fandi…..! Ibumu telah tidak ada. Ibu telah menghadap Tuhan. Ini memanglah salah bapak Fandi. Maafkan bapak. ”
Sasmito bicara sembari meratap, ratapan yang begitu memilukan. Ia menangis seperti bayi yang baru lahir. Hatinya hancur atas kepergiaan Fitri yang sudah jadikan tumbal olehnya. Isak tangis Sasmito terdengar begitu mengharukan. Namun Fandi terasa muak dengan sikap ayahnya.
Mendadak Fandi geram, ia telah demikian lama memendam kebencian pada ayahnya. Kebencian itu keluar karena perlakukan ayahnya yang tega jadikan ke-2 adiknya jadi tumbal. Terlebih saat ini ibunya tewas menyusul ke-2 adiknya. Ibunya sudah jadi korban atas pemujaan ayahnya.
“Ayah betul-betul tega berbuat begini. Mengapa bapak kerjakan pada kami? Kami perlu kebahagiaan. Kami tidak perlu harta! Beginilah bila bapak tidak yakin dengan terdapatnya Tuhan! ”
Makian Fandi yang terdengar mengutuk, sangat pedas untuk Sasmito. Tetapi Sasmito tidak sedikitpun membalas makian anak sulungnya itu. Sasmito mengerti semuanya kekeliruannya. Pada akhirnya Fandi keluar dari kamar serta segara menyebut beberapa tetangga untuk memberitahu kematian ibunya. Selesai itu Fandi kembali pada kamar menjumpai jenazah ibunya.
Badan Fitri terbujur kaku, tergolek diatas ranjang didampingi Sasmito. Berwajah terlihat pucat serta keriput di berwajah makin terlihat terang. Sebagian orang tetangganya berdatangan untuk melayat. Sasmito tampak shock, ia cuma termenung waktu lihat badan istrinya dibopong keluar untuk dimandikan. Disamping itu Fandi mengiringnya dari belakang sembari lihat satu tanda yang telah ia kenal. Tanda yang mengakibatkan kematian ibunya.
Besok harinya, sesudah Fitri dimandikan jasadnya selekasnya dimakamkan. Fandi, Sasmito serta semua warga menghantarkan jasad Fitri sampai ke pemakaman. Derai air mata Fandi serta Sasmito menemani kepergian Fitri sampai masuk ke liang lahat.
Usai pemakaman, Fandi terlihat shock serta frustasi. Semangat hidupnya saat ini telah tidak ada sekali lagi. Satu untuk satu beberapa orang yang disayanginya sudah pergi meninggalkannya. Untuk terlebih dianya bertahan hidup. Mungkin saja cuma untuk menanti gilirannya jadikan tumbal.
Kegundahan hati Fandi yang tampak riil bisa dipahami Sasmito. Perlahan Sasmito mendekati Fandi serta memeluknya sembari berkata, “Kau juga akan kemana Fandi? Apa kamu juga akan pergi meninggalkan bapak? Bapak mengaku kekeliruan bapak membuat ibu serta ke-2 adikmu pergi. Namun tolong dengar kalimat bapak. Pada saat itu bapak tergoda oleh harta. Namun semuanya bapak kerjakan untuk kehormatan keluarga kita yang senantiasa dihina karna hidup dalam kemiskinan. Bapak benar-benar khilaf saat itu serta tidak berfikir panjang. Saat ini tolong bantu bapak untuk menyelamatkan bapak. Bapak tidak menginginkan kaupun jadikan tumbal untuk Raja Siluman itu. Kau mesti selamat, biarkanlah bapak sendiri yang memikul mengakibatkan. ”
Hati Fandi terketuk juga oleh kalimat ayahnya. Walaupun ayahnya sudah salah ambil jalan, ia tetaplah bapak kandungnya. Fandipun selekasnya keluar dari tempat tinggal tanpa ada ingin dibarengi ayahnya. Fandi juga akan berupaya mencari jalan keluar yang dapat membuat perlindungan dianya serta menyelamatkan nyawanya. Dengan berat hati serta perasaan tidak kauran Fandi melangkahkan kakinya menembus udara bebas sembari selalu mengharapkan mudah-mudahan nyawanya bisa terlepas dari cengkeraman Ratu Yang memiliki Harta.
ciri-ciri orang yang punya pesugihan dan Jenis-Jenis Tumbal
4/
5
Oleh
Mas thiyo