Nasional, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal menjerat korporasi lain yang diduga terlibat korupsi setelah menetapkan PT Duta Graha Indah (DGI) yang telah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Engineering (NKE) sebagai tersangka.
“KPK sudah saatnya bergerak dari hanya menghukum orang saja,” ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif di KPK, Senin, 24 Juli 2017.
Baca juga: KPK Tetapkan PT DGI Tersangka Korporasi dalam Kasus Rumah Sakit
KPK telah menetapkan PT DGI dalam dugaan tindak pidana korupsi pekerjaan pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Periwisata Unviersitas Udayana Tahun Anggaran 2009-2010. Perusahaan itu diduga merugikan negara Rp 25 miliar dari proyek beranggaran Rp 138 miliar itu.
Laode menyebutkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Pidana Korporasi, hakim dapat menilai kesalahan korporasi dari berbagai sisi. Yang pertama, korporasi dapat memperoleh keuntungan dari tindak pidana yang dilakukan. Sisi lainnya, tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi. Dapat pula dijerat jika korporasi membiarkan tindak pidana terjadi dan perusahaan tidak memiliki langkah pencegahan.
Menurut Laode, untuk menetapkan korporasi menjadi tersangka bisa dilakukan dalam beberapa tahapan. Bisa terlebih dulu menetapkan korporasi baru pejabat di perusahaan tersebut atau sebaliknya. “Khusus untuk kasus ini (PT DGI) orangnya lebih dulu ditetapkan (tersangka),” kata dia.
Simak pula: KPK: Perma Pidana Korporasi Makin Menjamin Penegakan Hukum
Laode menjelaskan, penetapan PT DGI sebagai tersangka adalah pengembangan dari penyidikan perkara yang sama dengan tersangka mantan Direktur PT DGI Dudung Purwadi dan pejabat pembuat komitmen Made Meregawa. Ia menilai peran perusahaan sudah jelas diduga merugikan negara.
Meski begitu, KPK belum berkomentar banyak soal penerapan tindak pidana pencucian uang dalam perkara PT DGI. “Tergantung dari pemeriksaan saksi, tidak tertutup kemungkinan itu,” kata Laode.
Laode Muhammad Syarif menambahkan dari perhitungna statistik, pihak swasta memang paling banyak yang berpotensi dijerat. Terlebih sudah ada Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur tata cara menjerat korporasi. Selain itu, mengejar korporasi memiliki dampak lebih besar dibanding menjerat perorangan.
DANANG FIRMANTO